Rabu, 13 Maret 2013


Pengertian Jual Beli Dalam KUH-Perdata
Dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 ditentukan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan rumusan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 ini jelaslah bahwa hukum perjanjian yang berlaku bagi masyarakat Indonesia masih bersumber dari Buku III KUH-Perdata tentang Perikatan, hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi kekosongan hukum. 
Dalam Pasal 1313 KUH-Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maksud dari rumusan ini adalah perbuatan yang dilakukan tersebut harus secara sadar dan memenuhi syarat sahnya perjanjian karena akan menimbulkan perikatan untuk melaksanakan suatu kewajiban dalam lapangan harta kekayaan bagi mereka yang melakukan perjanjian tersebut. Akibat hukum dalam perjanjian adalah seperti yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Maksud dari “perjanjian yang dibuat secara sah” adalah perjanjian yang dibuat, tidak bertentangan dengan undang-undang karena isi perjanjian tersebut bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian. 
Selanjutnya Pasal 1338 ayat (3) KUH-Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, maksud kalimat ini bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Itikad baik dalam bahasa belanda disebut te goeder trouw (yang sering diterjamahkan dengan kejujuran). 
Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas, diantaranya adalah asas Kebebasan Berkontrak dan asas Konsensualisme (consensualisme). Asas Konsensualisme (consensualisme) adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian itu telah lahir pada saat atau detik tercapainya kata sepakat di antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Asas konsensualisme mendasari lahirnya suatu perjanjian dari kata sepakat yang timbul antara kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian, selain asas konsensualisme ada juga asas kebebasan berkontrak yang mengatur dibentuknya perjanjian. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 
Asas kebebasan berkontrak bersifat mengatur, hal ini sesuai dengan Pasal 1339 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, maksudnya para pihak dalam suatu perjanjian pada prinsipnya bebas untuk menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, dan yang lebih penting isi perjanjian tersebut sesuai dengan syarat sahnya perjanjian seperti yang diterangkan dalam Pasal 1320 KUH-Perdata. 
Pengertian jual beli dalam Pasal 1457 KUH-Perdata adalahsuatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat kita lihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang atau pembayaran harga atas benda oleh pembeli kepada penjual. 
Jual beli merupakan perjanjian konsensualisme, hal ini dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 1458 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar, dalam hal ini kesepakatan dianggap terjadi pada saat pembeli mengambil barang tersebut dan membayar harganya kepada penjual. 
Dalam perjanjian jual beli, asas kebebasan berkontrak dinilai penting bagi pihak-pihak dalam jual beli karena hal ini berarti adanya kebebasan bagi mereka dalam menentukan isi (causa) dari jual beli yang mereka buat. Akan tetapi perjanjian (kontrak) tersebut harus tetap memperhatikan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH-Perdata, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata). Adapun syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUH-Perdata adalah sebagai berikut : 
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian ; 
3. Suatu hal tertentu ; dan 
4. Suatu sebab yang halal. 
Syarat pertama adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, hal ini mengandung pengertian bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Syarat pertama ini didukung oleh Pasal 1321 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. 
Syarat yang kedua adalah cakap untuk membuat perjanjian. Syarat kedua ini merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Dewasa menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah berusia 18 tahun atau telah menikah. Sehat akal pikiran artinya tidak cacat mental, bukan pemboros dan tidak berada di bawah pengampuan. Adapun dewasa menurut Pasal 433 ayat (1) KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan matanya, selanjutnya dalam Pasal 433 ayat (1) KUH-Perdata disebutkan kembali bahwa seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat perjanjian ini mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya. Syarat ini didukung oleh Pasal 1330 KUH-Perdata yang menyebutkan tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 


1. Orang-orang yang belum dewasa ; 
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan ; 
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 
Syarat yang ketiga adalah suatu hal tertentu, menurut Pasal 1333 KUH-Perdata barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja dapat ditentukan atau diperjanjikan. Adapun barang yang menjadi pokok perjanjian atau yang diperjual-belikan adalah bebas asalkan barang tersebut memang untuk diperdagangkan (Pasal 1332 KUH-Perdata). Syarat ini didukung pula oleh Pasal 1334 ayat (2) KUH-Perdata, yang melarang barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang mempunyai barang tersebut akan meninggal dunia. Kemudian larangan terhadap barang yang diperjual-belikan tersebut, ditegaskan kembali dalam Pasal 1332 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Hal ini mengandung arti bahwa benda yang menjadi obyek perjanjian adalah barang yang diterima secara umum. 
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir untuk syahnya suatu perjanjian. Syarat ini didukung oleh Pasal 1335 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Kemudian dalam Pasal 1336 KUH-Perdata disebutkan bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika sebab yang lain daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah. Akhirnya Pasal 1337 KUH-Perdata menegaskan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 
Apabila syarat pertama dan kedua sebagai syarat subyektif itu tidak dipenuhi, maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Berdasarkan Pasal 1454 KUH-Perdata, hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5 (lima) tahun (1454 KUH-Perdata). Selama tidak dibatalkan, maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, sementara itu apabila syarat ketiga dan keempat yang dinamakan syarat-syarat obyektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjiannya batal demi hukum, yang mengandung arti bahwa dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian atau tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian maupun perikatan, sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di pengadilan. 
Kartu kredit adalah suatu fasilitas perbankan yang menawarkan faktor keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam melakukan suatu transaksi/ perjanjian jual beli. Muhamad Djumhana menyatakan bahwa : 
“Kartu kredit, adalah alat pembayaran pengganti uang atau cek. Para pihak yang terkait dalam penggunaan kartu kredit adalah : pemegang kartu (card holder); penerima pembayaran dengan kartu (merchant); dan penerbit (issuer). Penegang kartu adalah pihak yang telah memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan oleh penerbit sehingga berhak memegang dan menggunakan kartu tersebut. Adapun penerima pembayaran dengan kartu, biasanya pemilik tempat pembelanjaan dan hiburan, seperti pasar swalayan, toko, hotel, restoran, dan perusahaan khusus, dapat juga bank.”



Secara umum transaksi jual beli yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit ini adalah ketika barang yang menjadi objek perjanjian disepakati untuk dibeli oleh pembeli, pihak pembeli ini cukup menyerahkan kartu kredit yang dimilikinya kepada penjual, selanjutnya penjual tersebut mencatat secara detail transaksi tersebut pada sebuah wesel penjualan (sales draft) dan pembeli diminta menandatanganinya, kemudian barang dan selembar copy dari wesel itu diberikan kepada pembeli sebagai tanda terima (receipt). Penjual kemudian menyetorkan wesel penjualan (sales draft) yang sudah ditandatangani pembeli kepada bank yang mengeluarkan kartu kredit tersebut dan menyelesaikan transaksi itu dengan lembaga keuangan yang mengeluarkan kartu kredit tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar